Minggu, 08 Mei 2011
Ranup Lampuan dan Barongsai Berpadu di Kampoeng Tjina
Tarian ranup lampuan dan atraksi barongsai merupakan bagian dari serangkaian atraksi seni dan budaya lainnya yang ditampilkan pada acara pembukaan Festival Peunayong yang dilaksanakan Pemko Banda melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata-nya. Festival Peunayong yang juga dirangkai dengan Festival Krueng Aceh merupakan ‘jualan’ yang dikemas untuk Visit Banda Aceh 2011.
Malam itu, sebelum prosesi pembukaan oleh Wali Kota Banda Aceh, Mawardy Nurdin yang dipusatkan di ‘jantung’ Kampoeng Tjina, Jalan A Yani, terlebih dahulu digelar pawai budaya mengitari sejumlah ruas jalan utama di sekitaran Peunayong. Pawai budaya itu bukan saja diikuti oleh etnik Tionghoa, tetapi juga masyarakat dari gampong-gampong yang ada dalam Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
Tarian ranup lampuan yang dibawakan murid SD dari etnis Tionghoa tampak memesona ribuan warga yang memadati ruas Jalan A Yani, tempat pemusatan Festival Peunayong. Murid-murid SD bermata sipit itu bisa dengan fasih melafalkan kata demi kata dalam bahasa Aceh yang mengiringi tarian. Klimaksnya, tepuk tangan membahana.
Setelah tarian tradisional Aceh yang menggambarkan tradisi peumulia jamee tersebut berakhir sempurna, giliran barongsai menggeliat-geliat atraktif di depan masyarakat yang mengerubungi di depan panggung utama. Rangkaian atraksi tersebut disaksikan langsung Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wali Kota Banda Aceh Mawardy Nurdin, Wakil Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal, dan Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Armensyah Thay.
Ya, Jumat (6/5) malam itu beragam etnis dalam berbagai usia memang memadati Jalan Ahmad Yani, Gampong Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Festival Peunayong membuat Kota Tua itu menggeliat lagi. Sabtu (7/5) sore sekitar pukul 17.00 WIB, barongsai kembali unjuk diri. Atraksi seni yang dipadu kungfu itu ditampilkan dari pintu ke pintu.
Barongsai, kata Budi sang pimpinannya, bukan sekadar pertunjukan unjuk kebolehan. “Acara apa pun lazimnya dalam budaya Cina diawali dengan barongsai. Maksudnya untuk pemberkatan,” kata Budi, pimpinan tarian barongsai.
Yang menarik, ke-20 anggota barongsai ini adalah vegetarian. Mereka tidak dibolehkan memakan yang berdarah seperti daging atau ikan. Praktis makanannya adalah buah-buahan dan sayuran. “Lewat Festival Peunayong ini kita coba melebur diri dengan masyarakat Aceh,” kata Li, warga Peunayong, yang mengaku dirinya merupakan generasi keempat di Kampoeng Tjina tersebut.
Sejarah panjang
Tiongkok dan Aceh sejatinya memang punya hubungan sejarah yang panjang. Laksamana Chengho atau Zheng He, menurut Pemerhati Budaya Cina, Dr A Rani Usman, bahkan sampai tiga kali datang ke Aceh. Lonceng Cakradonya menjadi buktinya. Chengho menyerahkan lonceng tersebut kepada Kerajaan Pasai yang dipimpin Sultan Zainal Abidin pada 1409. Hadiah ini sebagai bukti persahabatan antara Bangsa Aceh dan Cina.
Kisah pelayaran Laksamana Chengho ini telah melegenda. Dia menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya. Chengho selama tujuh kali pelayaran selalu berusaha tampil penuh persahabatan. Ini mungkin yang membedakan pelayaran Chengho dengan Columbus. Bangsa barat menjelajahi Samudera untuk tujuan imperialiasme. Tapi, Chengho yang di masa hidupnya diyakini pernah menunaikan ibadah haji itu berusaha tampil penuh persahabatan.
Petualangan antarbenua yang dipimpin Chengho selama 28 tahun (1405 M-1433 M) itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, ahli geografi terkemuka dunia, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Chengho. “Yang harus diingat, tidak pernah Bangsa Cina memusuhi Islam,” kata Rani Usman yang fasih berbahasa Mandarin ini.
Rani Usman menambahkan, etnis Tionghoa banyak meninggalkan negerinya setelah muhibah besar Chengho. Kapan persisnya etnis Tionghoa memasuki Aceh? “Sejak lancarnya transportasi laut,” kata Rani Usman. Apalagi saat itu Tiongkok sedang dilanda konflik dan kelaparan. Mereka beramai-ramai hijrah ke berbagai negara, salah satunya ke kawasan Ulee Lheue sebagai tempat pelabuhan internasional di masa kesultanan Aceh. Setelah Belanda ‘menundukkan’ Aceh, kaum Cina didatangkan lebih banyak lagi sebagai tenaga kerja terampil.
Sebagai Kota Tua, warisan arsitektur Eropa masih tersisa di kawasan pecinan itu. Sebagian lainnya, seperti Hotel Atjeh, telah hilang ditelan zaman. Peunayong dulunya dihuni oleh beragam etnis, yakni pedagang dari Cina, Persia, dan India. Syukurnya, bangsa yang berbeda budaya dan agama itu bisa hidup berdampingan hingga beratus-ratus tahun lamanya. Mungkin itu sebabnya, kawasan ini diberi nama Peunayong, yang disebut berasal dari kata Peumayong (memayungi).
Jumlah warga Peunayong kini sekitar 4.000 jiwa, sekitar 70 persen beretnis Tionghoa. Rani Usman berharap, momen kali ini bisa digunakan untuk semakin mempererat hubungan dan meleburkan diri antara etnis Tionghoa dengan masyarakat sekitar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar