Senin, 18 April 2011

Nikmatnya Kupi Gayo

Jika anda sewaktu2 berkunjung ke daerah Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, jangan heran bila hampir dibanyak tempat terdapat warung kopi, (disana disebut, “keude kupii”, waroeng kupi” ), apa lagi anda berkunjung ke pelosok desa atau daerah pinggiran, tentu tidak sulit menemukan nya.

Dengan cita rasa kopi yang benar2 kopi beneran, hampir 100% kopi murni (tidak dicampur jagung atau bla bla bla... seperti di tempat lainnya), dan bagi anda yang tidak terbiasa minum kopi kental , sebaiknya jangan coba coba , kecuali anda harus memesan terlebih dahulu kepada si penjual agar dibuat lebih sedikit encer, karena bisa2 anda tidak bisa tidur 24 jam ke depan.

Minum Kopi tidak terpisahkan dengan kebiasaan warga masyarakat di Aceh, jika kita kebetulan berkunjung atau bertamu ke rumah salah satu keluarga atau kerabat di Aceh, sudah pasti secangkir kopi terhidangkan di depan anda, dan itu tidak boleh ditolak, karena itu merupakan sajian / penghargaan masyarakat Aceh terhadap kunjungan tamu ke kediaman mereka. Bahkan di Aceh tidak ada istilah berkunjung tanpa masuk dan duduk di ruang tamu, walau sejenak. Suatu sikap menerima tamu dengan segala kerendahan hati dan menunjukkan sikap senang atas kunjungan anda. Jika anda memang tidak terbiasa minum kopi, anda bisa menyampaikannya kepada tuan rumah, akan dibuatkan teh manis sebagai penggantinya.

Sejarah kopi diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia yang menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, hingga menjadi minuman bergengsi para aristokrat di Eropa. Bahkan oleh Bethoven menghitung sebanyak 60 biji kopi untuk setiap cangkir kopi yang mau dinikmatinya.

Sementara menurut wikipedia, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas :
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi.[2]
Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi.[3] Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda.[rujukan?] Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini.[3]
Secara umum, terdapat dua jenis biji kopi, yaitu arabika (kualitas terbaik) dan robusta.[4]
Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu.[5] Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.[rujukan?] Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya.[6] Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung (kardiovaskuler).[7][8]

Nah...kita kembali tentang cerita minum kopi di Aceh, dari sejak matahari terbit hingga menjelang terbit fajar kembali esok paginya,.. para penikmat kopi ini silih berganti mengunjungi keudee kupi atau sering di sebut waroeng kupi yang terdapat di sekitar keberadaan tinggal mereka.

mengutip beberapa tulisan :  berbagai masalah muncul karena kecanduan kopi ini, seperti misalnya, Bapak Irwandi Yusuf, Gubernur Nanggoe Aceh Darussalam,sempat gusar karena banyak para pegawai negeri di lingkungannya tidak berada di tempat /meja kerja nya pada jam-jam kerja, hal ini karena mereka sedang berada di keude kupi. Langkah yang ditempuh Bapak Gubernur ketika itu adalah dengan melakukan sweeping ke keudee kupi pavorit pejabat di sana. Sejak itu mereka para pengunjung setia atau penikmat kopi, mulai enggan duduk ber-lama lama di keude kupi.

Masalah lain pun terjadi, bagi mereka yang telah berkeluarga, setiap pagi para keluarga/ sang istri tercinta telah berupaya menyiapkan sarapan guna dinikmati suami sebelum berangkat kerja, termasuk menghidangkan kopi panas, tetapi... tidak disentuh sama sekali, justru yang di gandrungi adalah kopi yang dijual di warung atau keude kupi langganan, ini pun sering menjadi masalah di dalam rumah tangga.

Di keudee kupi, mereka para penikmat kopi  seperti menemukan komunitas nya, tempat dimana bertemunya satu sahabat dengan sahabat lain, dengan sanak dan kerabat . Pertemuan di keude kupi ini menjadikannya sebagai ruang sosial atau tempat saling menukar informasi bahkan pembicaraan ke topik yang paling update sekalipun
Pendapat senada dikemukakan Teuku Kemal Fasya, antropolog di Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe. Di kedai kopi tersedia jawaban atas hal-hal yang tidak terselesaikan melalui jalur formal. 

Di kedai kopi, warga berbincang mengenai masalah keluarga, politik lokal, nasional, dan isu yang sedang hangat dalam sorotan pers. Pergantian pejabat kerap lebih dulu terdengar di kedai kopi, termasuk skandal pejabat. 

Sosok kedai kopi itu sendiri mungkin akan mengejutkan mereka yang belum pernah ke Aceh. Di Banda Aceh, ratusan manusia berjubel di beberapa kedai kopi favorit. Kendaraan roda dua dan empat diparkir memanjang seperti di kompleks pertokoan. 

Kedai kopi umumnya berada di sebuah atau beberapa ruko. Ada pula yang berbentuk warung seperti di Jawa. Dapat dibayangkan ketika ruangan sempit tersebut dijejali manusia pada tengah hari yang terik. Ditambah lagi asap rokok. Tetapi, semakin berjubel manusia justru semakin menarik minat pelanggan. 

"Di kedai kopi orang dapat bertemu segala rupa dan jabatan manusia. Gubernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPRD, pengusaha, kontraktor, guru, ulama, bahkan pengangguran," ujar Teuku Kemal Fasya. Lebih mudah menemui pejabat atau pengusaha di kedai kopi ketimbang di kantornya. "Pertemuan di kedai kopi membuka jalan bagi langkah selanjutnya." 

Suasana ini sulit ditemukan di daerah lain. Di Jawa, misalnya, jangankan gubernur atau bupati, seorang pejabat eselon II atau III di daerah pastilah enggan duduk di kedai kopi bersama warga biasa atau penganggur karena dianggap dapat mencederai wibawa korps pegawai negeri. 

Lebih seru komentar yang terbetik di dunia maya seputar keberadaan kedai-kedai kopi khas Aceh ini.
Seorang blogger, Dudi Gurnadi dan teman-teman misalnya. Ia memelesetkan "warkop" di Aceh ini dengan sebutan "Starblack".
Kata Starblack merupakan kata plesetan dari warung kopi internasional yang saat ini merambah di berbagai belahan dunia, Starbucks. Warna hitam kopi di kedai-kedai Aceh, serta cita rasa yang tersendiri, membuat kopi Aceh cocok disebut oleh blogger ini sebagai Starblack.
Blogger lain menyatakan, kedai kopi di Aceh juga menjadi semacam tempat dugem (dunia gemerlap). Tiadanya tempat hiburan di Aceh seperti di ibu kota, diskotek, bioskop, ataupun kelab malam yang menyuguhkan musik hidup lengkap dengan hiburan-hiburannya, membuat kedai kopi Aceh sebagai salah satu "tempat hiburan" yang menyenangkan bagi orang-orang Aceh. 

Nia (29), misalnya. Pekerja kemanusiaan di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan pemerintahan Amerika Serikat ini mengaku ingin pergi ke Nanggroe Aceh Darussalam karena kangen kongko-kongko dengan teman-teman koleganya di kedai kopi Aceh. Entah di kedai Ayah-Solong, Ulee Kareung, atau di Warkop Chek Yukee, di Jalan Pinggir Kali, Banda Aceh. 

Lain lagi dengan kalangan kampus ini. "Ketika tiba di kedai kopi, hal pertama yang kami lakukan membaca koran lokal," ujar seorang mantan aktivis mahasiswa. Setelah itu, dimulai pembahasan isu menarik dalam koran tersebut. Masing-masing punya pendapat dan kerap tidak masuk akal. "Maka, kami menyebut ke kedai kopi itu meng-update fitnah," ujarnya. 

"Masalah apa saja dapat diselesaikan di kedai kopi," ujar Tarmiji (42), pengusaha kedai kopi Pak Geuchik, di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar. Ia merujuk Jamil, kontraktor gurem, yang ikut berbincang saat itu. Ketika membutuhkan tenaga tukang bangunan, Jamil cukup menyebarkan informasi di kedai kopi. Esoknya beberapa tukang menemui Jamil di kedai yang sama. 

Ketika darurat militer masih diberlakukan, bencana mulai menimpa mereka yang masih nekat ke kedai kopi. Apalagi kedai kopi merupakan salah satu target sweeping aparat keamanan.
Mereka yang dicurigai identitasnya diangkut ke markas militer atau Polri. Di Teupian Raya, beberapa tahun lalu, aparat keamanan membakar kedai kopi setelah sebuah bom meledak dekat jembatan dan menewaskan tiga anggota pasukan Siliwangi. Kedai yang merupakan satu-satunya bangunan dekat lokasi kejadian dicurigai sebagai pos pengendalian serangan bom itu. 

Teungku Yahya, penasihat Teungku Abdullah Syafei, panglima perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), harus menukar keinginan duduk di kedai kopi di Pidie dengan nyawanya. Aparat keamanan ternyata sudah mengetahui rute favorit gerilyawan GAM. Teungku Yahya pun tewas kena peluru aparat. 

Suasana kedai adalah salah satu kunci sukses bisnis kedai kopi di Aceh. Kedai kopi milik H Nawawi di Ulee Kareng, Solong Banda Aceh, misalnya. Kedainya selalu ramai, bahkan sering pengunjung berdesak-desakan duduk di kedainya. 

Keributan? Tidak juga pernah terjadi keributan maupun keluhan. Padahal, setiap hari rata-rata 2.500 orang minum kopi di kedai Nawawi yang dilayani 13 karyawan itu.
Di Ulee Kareng, harga secangkir kopi biasa Rp 3.500 dan kopi susu Rp 6.000. Berarti, setiap hari ada perputaran uang sekitar Rp 10 juta.
Hebatnya lagi, harga di kedai-kedai kopi ini juga bisa menjadi semacam "indikator ekonomi" di Aceh. 

"Sebelum tsunami (2004), penghasilan Rp 20.000 per hari dapat memenuhi kebutuhan hidup. Harga secangkir kopi hanya Rp 1.000. Sekarang penghasilan Rp 50.000 tidak cukup. Harga secangkir kopi sudah Rp 2.500," ujar Ramond. Ramond (64) adalah seorang pengemudi becak bermotor yang kerap mangkal di depan Hotel Sultan, Banda Aceh. 

Di sana, harga secangkir kopi lebih dipercaya sebagai indikator baik-buruknya keadaan ekonomi. Kenaikan harga BBM atau kebijakan makro lain adalah hal berikut. Di sini, ke kedai kopi adalah bagian dari irama kehidupan dan dianggap menyangkut "hak asasi manusia". Sumber: Maruli Tobing & Mahdi Muhammad (Kompas, Minggu, 02 Desember 2007).
Itulah sedikit cerita tentang kopi di Aceh, bagi warga Aceh yang sedang sekolah atau merantau / menetap di luar daerah Aceh, pasti merasa kangen untuk bisa menikmati kupi di waroeng kupi daerahnya. Kangen akan suasana daerah, kangen bertemu dengan sahabat serta kerabat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar